Rabu, 26 November 2008

Kemana Arah Pendidikan Kita?

Kemajuan bangsa sangat ditentukan oleh mutu pendidikan. Oleh karena itu, masalah pendidikan sangat penting. Namun, diakui atau tidak, selama ini sektor pendidikan masih kurang mendapat perhatian, walaupun dari segi anggaran mengalami peningkatan. Robohnya banyak gedung sekolah, gaji guru yang belum cukup, peralatan sekolah yang belum memadai, merupakan indikator belum diprioritaskannya sektor pendidikan.
Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 31 ayat (3) UUD 45 menegaskan perlunya mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia. Hal itu dijabarkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun, tampaknya pelaksanaan pendidikan saat ini hanya menitikberatkan pada pencapaian kecerdasan intelektual yang menjadikan peserta didik pandai dari segi akademik saja. Hal itu dapat dilihat, antara lain, pada pengukuran hasil pendidikan yang hanya menitikberatkan pada ujian nasional dengan materi ujian antara lain matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Pendidikan nasional belum diarahkan kepada amanat (perintah) konstitusi dan tujuannya secara utuh serta menyeluruh.
Evaluasi pendidikan seperti yang terjadi sekarang ini lebih mengarah pada tujuan hasil akhir tanpa memperhatikan proses pendidikan. Akibatnya, untuk mencapai tujuan tersebut banyak yang mengambil jalan “menerabas” (jalan pintas). Beberapa kasus kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional yang dilakukan siswa, guru atau pengasuh sekolah dapat dijadikan contoh indikator akibat negatif dari pelaksanaan pencapaian dengan jalan pintas.
Pendidikan yang hanya mementingkan kecakapan intelektual tidak dapat menyiapkan peserta didik menjadi generasi penerus yang berkarakter kuat. Karakter yang kuat antara lain bercirikan memiliki integritas yang tinggi, jujur, disiplin, proaktif, percaya diri, tekun, dan pantang menyerah.
Miskinnya spiritualitas (karena pendidikan hanya menitikberatkan pada aspek kecerdasan) tidak dapat membangkitkan fungsi hati nurani. Miskinnya spiritualitas akan menghasilkan manusia yang rapuh: tidak mengerti siapa dan dari mana dirinya, dan untuk apa hidupnya.
Sebaliknya kemampuan emosional dan spiritual justru akan mengembangkan kemampuan nalar dan intelektual, membangun semangat, optimisme, kreativitas, mandiri, visioner, memahami diri sendiri dan orang lain dengan empati yang didasari oleh moralitas.
Karena itu, paradigma praktik pendidikan yang hanya bertujuan meraih kemampuan akademik harus diubah dengan mengarahkan kepada apa yang diamanatkan oleh UUD 45 dan undang-undang lainnya. Yaitu, terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, mandiri, baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara, seperti disebutkan dalam Ketetapan MPR-RI No VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia 2020.

AM Fatwa wakil MPR RI

Tidak ada komentar: